E. PATOLOGIS DAN GEJALA KLINIS
Larva menempel pada manusia merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya (Hajj et al.,2018). Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir. Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul (Hajj et al.,2018).
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E (Ig E), namun kondisi ini jarang ditemui (Hajj et al.,2018)
F. PENCEGAHAN / PENGENDALIAN
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini antara lain mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi, melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan anti helmintik, menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang tersebut, serta mencegah hewan untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain (Tao et al.,2012).
G. PENGOBATAN
Obat pilihan pada penyakit larva migran adalah ivermektin dalam dosis tunggal atau albendazol dalam dosis berulang. Pemberian albendazol secara topikal dapat dipertimbangkan bagi orang – orang yang dikontraindikasikan terhadap ivermektin dan albendazol oral (Tao et al.,2012).
DAFTAR PUSTAKA
Hajj, R. Hiba, H. 2018. K. Fatal Visceral Leishmaniasis Caused by Leishmania infantum, Lebanon. Emegring Infectious Disease. 24(5) : 907
Richey, TK. Gentry, RH. Fitzpatrict, JE. Morgan, AM. 1996. Persistent cutaneous larva migrans due to Ancylostoma species. South Med J. 89 : 609-611
Saroufim, M. Charafeddine, K. Issa, G, Khalifeh, H. Habib, RH. Berry,A. 2014. Ongoing epidemic of cutaneous leishmaniasis among Syrian refugees, Lebanon. Emerge Infect Dis. 20:17– 50.
Tao ,Y, Li-Na Zhao, Miao-Jing. F, Huan W. and Qi-Kui Chen. 2012. Visceral larva migrans associated with earthworm and gecko ingestion: a case report. Journal of Medical Case Reports. 6:210