Septicemia epizootica atau Pasteurellosis juga dikenal sebagai “penyakit ngorok” disebabkan oleh Pasteurella spp. Pengobatan dapat dilakukan dengan antibiotika spektrum luas. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi menggunakan vaksin aktif atau bakterin. Langkah untuk pengendalian SE antara lain: karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit, dan disinfeksi kandang dan fasilitasnya yang tercemar. Infectious bovine rhinotracheitis disebabkan oleh virus BHV-1 (bovine herpes virus) dengan gejala gangguan alat pernafasan atau gangguan reproduksi, berupa abortus dan infeksi alat kelamin. Pengendalian IBR secara umum dengan regulasi penanggulangan IBR, karantina yang ketat, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita.
Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit infeksi, berupa diarrhea ganas pada sapi, disebabkan oleh pestivirus (familia Togaviridae). Langkah untuk pengendalian BVD antara lain: regulasi penanggulangan BVD, karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita. Penyakit Jembrana pada sapi Bali merupakan penyakit infeksi, akut, disebabkan oleh bovine lentivirus dengan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Untuk pengendalian penyakit Jembrana dapat dilakukan langkah-langkah, antara lain: regulasi penanggulangan penyakit Jembrana, karantina yang ketat bagi hewan yang masuk atau keluar, pembinasaan segera hewan yang mati, kotoran atau material kandang yang tercemar dengan kremasi, disinfeksi kendang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi dan higiene umum pada kandang dan personalianya.
Brucellosis merupakan suatu penyakit infeksi menular disebabkan oleh bakteria Brucella, menyebabkan abortus, infertilitas, gangguan reproduksi, serta penurunan produksi susu dan bersifat infeksius bagi manusia. Tindakan pengendalian brucellosis sapi spesifik, antara lain: regulasi penanggulangan brucellosis, karantina yang ketat, pembinasaan segera hewan yang mati, kotoran atau material kandang yang tercemar dengan cara kremasi, isolasi penderita, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita brucellosis untuk keselamatan dirinya sendiri. Bakteri Brucella memiliki karakteristik berupa bakteri gram negatif, tidak berspora, berbentuk kokobasilus (short rods) dengan panjang 0,6 – 1,5 µm, tidak mempunyai kapsul, tidak berflagela sehingga menyebabkan bakteri ini tidak dapat bergerak (non motil). Bakteri Brucella mempunyai kemampuan daya tahan hidup pada tanah kering selama 4 hari di luar suhu kamar. Sedangkan pada tanah lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah becek mampu bertahan hidup selama 151 – 185 hari.
Ketika terinfeksi bakteri Brucella, bakteri ini dapat mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Bakteri ini akan masuk ke dalam sel epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag masuk ke limfoglandula. Bakteri Brucella terlokalisir dalam sistem reticuloendothelial seperti pada hati, limfa, dan sumsum tulang belakang dan akan membentuk granuloma. Bakteri Brucella bersifat fakultatif intraseluler yaitu bakteri mampu hidup dan berkembang biak dalam sel fagosit, mempunyai 5-guanosin mono fosfat yang berfungsi untuk menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga bakteri mampubertahan hidup dan berkembang biak di dalam sel neutrofil. Penyakit Brucellosis di Indonesia hanya dikenal sebagai penyakit repoduksi menular pada sapi yang mengakibatkan terjadinya abortus pada sapi bunting yang terinfeksi. Penyakit Brucellosis di Indonesia tidak dikenal sebagai penyakit zoonosis dan juga belum banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini karena belum pernah dilaporkan dan dipublikasikan terkait penyakit Brucellosis yang merupakan penyakit zoonosis. Pengobatn Brucellosis harus segera dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin, dan rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu.