• Fakultas Biologi UGM
  • Channel Video Kami
  • Menara Ilmu
Universitas Gadjah Mada Lab Sistematika Hewan
sub Parasitologi Fakultas Biologi UGM
  • Tentang Kami
  • Praktisi
  • Forum dan Konsultasi
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • Artikel
  • Limfatik Filariasis

Limfatik Filariasis

  • Artikel
  • 5 July 2018, 10.34
  • Oleh: Soenarwan Hery
  • 0

            Gejala  klinis  filariasis  terdiri  dari  gejala klinis akut dan kronis.   Gejala akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang dapat disertai demam, sakit kepala, rasa lemah serta dapat pula menjadi abses. Abses dapat pecah yang selanjutnya dapat menimbulkan parut, terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala kronik berupa limfedema, lymph scrotum, kiluria, dan hidrokel. Limfedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan pengaliran getah bening kembali ke dalam darah. Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum. Ditemukan juga vesikel    dengan ukuran bervariasi pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Kiluria    adalah kebocoran yang terjadi akibat pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renalis). Hidrokel adalah pembengkakan yang terjadi pada skrotum karena terkumpulnya cairan  limfe di dalam tunica vaginalis testis (Taylor, et al., 2010).

Filariasis Limfadema Lymphscrotum Hidrokel Brugia Malayj
Gambar 3. Penderita penyakit filariasis (A dan B). Limfedema dan kaki gajah karena limfatik limfariasis. (C).  Lymphscrotum dan hidrokel. (D). Mikrofilaria Brugia malayi (Taylor et al, 2010).

                Pencegahan penyakit filariasis dapat dilakukan dengan menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air, menggunakan obat nyamuk dan memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk. Pada rumah, diatur cahaya dan ventilasi, serta menghindari kebiasaan menggantung pakaian yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk. Strategi utama pada pemberantasan transmisi limfatik filariasis adalah dengan melakukan MDA (Mass Drug Administration) tahunan menggunakan obat DEC (Diethylcarbamazine citrate) atau Albendazole. Obat tersebut mengatasi filariasis dengan membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Efek samping obat tersebut adalah pusing, mual, demam, nyeri pada otot dan sendi, serta sakit kepala. Tetapi obat-obat tersebut  tidak boleh digunakan pada wanita hamil, anak-anak dibawah umur 2 tahun, dan yang memiliki penyakit serius (Keating, et al., 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Anindita & Mutiara, H., 2016. Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko. JK UNILA, Volume 1, pp. 393-398.

Cho, S. H. et al., 2012. Surveillance and Vector Control of Lymphatic Filariasis in the Republic of Korea. OSong Public Health Res Perspect, Volume 3, pp. 145-150.

Keating, J., Yukich, J., Mollenkopf, S. & Tediosi, F., 2014. Lymphatic Filariasis and Onchocerciasis Prevention, Treatment, and Control Costs Across Diverse Settings: A Systematic Review. Acta Tropica, Volume 135, pp. 86-95.

Taylor, M., Hoerauf, A. & Backarie, M., 2010. Lymphatic Filariasis and Onchocerciasis. The Lancet, Volume 376, p. 1175.

 


Pages:  1  2

Tags: Filariasis Parasitologi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • Amebiasis
  • Skistosomiasis
  • Leptospirosis
  • Larva Migran
  • Limfatik Filariasis
  • Rabies
  • Malaria
  • Flu Burung (Avian Influenza)
  • Toksoplasmosis
  • Zoonosis dan Penggolongannya

Categories

  • Artikel

Archives

  • August 2018
  • July 2018
Universitas Gadjah Mada

Lab SH sub Parasitologi

Artikel Terbaru

  • Amebiasis
  • Skistosomiasis
  • Leptospirosis

Archives

  • August 2018
  • July 2018

© 2018 Lab SH sub Parasitologi Fakultas Biologi UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju