• Fakultas Biologi UGM
  • Channel Video Kami
  • Menara Ilmu
Universitas Gadjah Mada Lab Sistematika Hewan
sub Parasitologi Fakultas Biologi UGM
  • Tentang Kami
  • Praktisi
  • Forum dan Konsultasi
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • Artikel
  • Skistosomiasis

Skistosomiasis

  • Artikel
  • 29 July 2018, 19.47
  • Oleh: Soenarwan Hery
  • 0

Siklus hidup Schistosoma spp. (Lihat Gambar.2) meliputi tahap parasit dan hidup bebas. Tahap infektif untuk manusia adalah serkaria, yang hidup dan berenang bebas, tetapi berumur pendek (24-72 jam). Serkaria masuk ke dalam tubuh inang melalui penetrasi kulit yang berada di dalam air. Serkaria kemudian bertransformasi menjadi larva schistosomula, yang menembus sistem sirkulasi melalui pembuluh subkutaneus dan mencapai sistem sirkulasi pulmonal. Pada paru-paru, schistosomula memanjang, masuk ke pembuluh vena pulmonalis dan kemudian bergerak menuju jantung hingga kapiler darah sistemik. Jika schistosomula mencapai pembuluh splanchnic, schistosomula bergerak ke pembuluh kapiler untuk menuju sirkulasi  portal. Apabila tidak mencapai sirkulasi portal, schistosomula akan kembali ke jantung untuk bersirkulasi kembali. Dari kapiler mesenterika, schistosomula akan bergerak ke hati dan masuk ke dalam cabang-cabang intrahepatik vena portal dan mengalami maturasi menjadi cacing schistosome dewasa. Cacing fluke darah dewasa bersifat dioecious, yaitu jantan atau betina terpisah dan akan bermigrasi melalui pembuluh mesenterika untuk mencari pasangan, kawin dan memulai oviposisi pada dinding usus. Telur akan keluar dari tubuh manusia bersamaan dengan kotoran dan apabila telah mencapai air tawar, telur akan menetas untuk melepaskan mirasidia. Mirasidia merupakan tahap yang akan menginfeksi inang perantara siput. Mirasidia akan berkembang menjadi sporokista dan nantinya akan melepaskan serkaria 4-12 minggu setelah siput terinfeksi. Pada tahapan siklus hidup schistosom tidak memiliki tahapan redia (Salvana and King, 2009; Alnassir and King, 2009).

Siklus hidup Schistosoma sp.
Gambar 2. Siklus hidup Schistosoma sp. (Mowafy and Abdel-Hafeez, 2015).

Cara infeksi atau Penularandari Schistosoma spp. Terbagi menjadi 2 yaitu infek akut dan infeksi kronis.  Infeksi akut merupakan sejenis infeksi yang cukup sulit untuk didiagnosis pada inang definitif. Gejala klinis tidak bersifat spesifik untuk schistosomiasis. Riwayat kulit yang terpapar air pada daerah endemik diikuti oleh kelainan klinis sesuai dapat meningkatkan kecurigaan adanya schistosomiasis akut. Pengujian serologi antischistosom dapat dilakukan, meskipun hasil positif tidak membedakan anata infeksi yang baru dengan yang lama. Namun, beberapa orang yang sebelumnya memiliki hasil negatif dapat menjadi indikasi imun yang dapat mengesampingkan kemungkinan infeksi schistosoma (Salvana and King, 2009). Infeksi kronis,Pemeriksaan tinja langsung menggunakan teknik Kato-Katz adalah metode pilihan untuk menentukan keberadaan infeksi dan densitas telur pada manusia yang terinfeksi. Telur memiliki penampilan yang berbeda, yaitu ovoidal dengan operculumkecil di dekat salah satu kutub. Telur berukuran sekitar panjang 100 μm dan lebar 60 μm. Teknik-teknik konsentrasi sangat membantu untuk mengolah jumlah volume tinja yang besar, tetapi tidak sensitif untuk infeksi ringan. Teknik konsentrasi umum meliputikonsentrasi formaldehid-eter, teknik konsentrasi mertiolat-formaldehid, dan teknik konsentrasi mertiolat-yodium-formaldehid. Biopsi rektal dapat berguna jika pemeriksaan tinja berulang tetap menunjukkan hasil negatif ketika kecurigaan klinis tinggi terhadap infeksi schistosom, karena sebagian besar telur kemungkinan berkonsentrasi di mukosa rektal dan akan tetap ada bahkan jika infeksi aktif telah berhenti. Saat ini tes yang mumpuni yaitupengujian precipitin sirkumoval (COPT), pengujian hemaglutinasi tidak langsung dan ELISA terhadap antigen schistosome yang larut(Salvana and King, 2009).

Berdasarkan cara infeksi atau penularan dari Schistosoma spp. Maka gejala klinis dan patologis nya juga sama,yaitu terbagi atas Schistosomiasis akut dan Schistosomiasis kronis. Pada schistosomiasis akut,penetrasi serkaria ke dalam kulit menyebabkan inflamasi dan pruritus yang dikenal sebagai dermatitis serkaria atau “swimmer’s itch.”  Pada dasarnya gejala unik bersifat umum untuk trematoda skistosom. Namun, spesiesS. mansoni dan S. haematobium lebih sering  menyebabkandermatitis dibandingkanS. japonicum. Gejala lanjutnya yaitu munculnya “demam siput” atau demam Katayama yang disertai arthralgia, mialgia, nyeri perut, limfadenopati, hepatosplenomegali dan eosinofilia (Salvana and King, 2009).Saat cacing fluke dewasa bermigrasi melalui sistem sirkulasi jarang berakhir pada daerah seperti otak atau sumsum tulang belakang, apabila terjadi maka dapat menyebabkan serangan iskemik transien, stroke, paraparesis, kejang, atau hidrosefalus.Infeksi berulang dapat menstimulasi kekebalan parsial pada inang. Karena imunomodulasi kompensasi dari respon imun antiparasit, dermatitis dan manifestasi sistemik dari infeksi akut, maka infeksi dapat menurun saat individu yang terinfeksi pada penetrasi berikutnya (Khiani and King, 2009).

Pada Schistosomiasis kronis,Schistosoma japonicummampu menyebabkan gejala kronis jika cacing fluke dewasa menemukan jalan ke dalam sirkulasi portal. Sepasang cacing dewasa yang kawin mampu menghasilkan 300 hingga 3.000 telur tiap hari, yang dilepaskan ke pembuluh kapiler dan vena porta. Agar dapat dikeluarkan melalui dinding usus, telur harus masuk ke dalam urat terminal di dinding usus, menyebabkan ulserasi. Pendarahan dan pembentukan polip di dinding usus merupakan komplikasi umum dari perpindahan telur dari venula ke lumen usus. Proses inflamasi dapat menyebabkan tubuh kehilangan protein, kehilangan zat besi, anemia penyakit kronis, diare dan dalam beberapa kasus, obstruksi usus (Khiani and King, 2009). Lebih dari setengah dari jumlah total telur tidak mampu keluar dari tubuh inang, terperangkap secara permanen di jaringan inang, menyebabkan granuloma inflamatori. Jumlah telur yang signifikan akhirnya menyebabkan fibrosis pada berbagai jaringan, menyebabkan hipertensi portal dan sequelae dari pembentukan varix, asites dan splenomegali (Khiani and King, 2009).

 

Next >> Pencegahan

Tags: Schistosomiasis Zoonosis

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • Amebiasis
  • Skistosomiasis
  • Leptospirosis
  • Larva Migran
  • Limfatik Filariasis
  • Rabies
  • Malaria
  • Flu Burung (Avian Influenza)
  • Toksoplasmosis
  • Zoonosis dan Penggolongannya

Categories

  • Artikel

Archives

  • August 2018
  • July 2018
Universitas Gadjah Mada

Lab SH sub Parasitologi

Artikel Terbaru

  • Amebiasis
  • Skistosomiasis
  • Leptospirosis

Archives

  • August 2018
  • July 2018

© 2018 Lab SH sub Parasitologi Fakultas Biologi UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju